Dalam rangkaian Dies 25 tahun FTIS UNPAR, panitia menerbitkan bunga rampai, berupa kisah-kisah dari warga FTIS.
oleh Pascal Alfadian Nugroho, IF ’03

Di tahun 2003, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di FTIS UNPAR, yang dahulu bernama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Jurusan yang saya ambil bernama Ilmu Komputer, dan sampai sekarang saya pun tidak yakin jurusan tersebut lebih cocok dianggap sebagai ilmu matematika atau pengetahuan alam. Walau begitu, seiring dengan berubahnya nama fakultas menjadi Fakultas Teknologi Informasi dan Sains dan jurusan menjadi Informatika, terlihat perubahan-perubahan positif yang dilakukan untuk mengikuti perkembangan zaman dan tantangan-tantangannya.

Di masa tersebut, saya menikmati hidup di kota Bandung dan UNPAR sebagai mahasiswa, tanpa diganggu oleh notifikasi pesan WhatsApp dan foto makanan di Instagram yang harus saya like. Minggu-minggu pertama kuliah dibarengi dengan acara penerimaan mahasiswa baru oleh senior kami, berupa permainan-permainan outdoor yang menyenangkan dan penuh kebersamaan. Sambil bermain, kami juga mendengar mahasiswa-mahasiswa baru dari fakultas sebelah yang sedang berlari gaya militer sambil meneriakkan yel-yel “Hei, (fakultas kami) paling oke, yang lainnya memble…”

Sebagian besar hidup perkuliahan saya selama empat tahun dihabiskan di gedung fakultas ini, yaitu di gedung 9 (tepatnya di lantai 1 dan semi-basement). Sesekali kami berkuliah di luar gedung, saat mengambil mata kuliah umum atau mata kuliah dari fakultas lain. Terlebih pada saat itu, saya sempat bertugas menjadi administrator laboratorium komputasi, melayani ketiga jurusan yang ada di FMIPA.
Maju ke depan 4 tahun kemudian, saya berhasil mendapatkan gelar sarjana dan mulai mencari pekerjaan. Butuh waktu 6 bulan sampai saya mendapatkan pekerjaan saya, tetapi untungnya selama itu saya dapat bekerja paruh waktu di fakultas sebagai pelatih tim mahasiswa yang berkompetisi di ajang kompetisi pemrograman ACM-ICPC Regional.
Pekerjaan yang saya dapat membawa saya tinggal di Singapura selama hampir 4 tahun. Persahabatan yang saya jalin selama di FTIS UNPAR ternyata membantu saya dalam proses perpindahan saya ke Singapura. Hanya dalam waktu beberapa hari, saya harus menemukan tempat tinggal di Singapura dengan beberapa syarat seperti: biaya yang terjangkau, dekat dengan tempat kerja, dan lingkungan yang baik. Di sisi lain, saya hampir bisa dikatakan buta terhadap kondisi di negara kecil ini. Untungnya, salah seorang rekan saya di lab komputasi FTIS UNPAR, Ronny, kebetulan baru meraih gelar magisternya di Singapura, dan mencari tempat tinggal seperti saya. Singkat cerita, beliau-lah yang menemukan tempat tinggal yang paling cocok bagi kami berdua untuk satu tahun berikutnya. Sebuah kamar dalam apartemen kecil yang menjadi tempat kami tidur, sementara sang pemilik apartemen tidur di kamar lainnya. Di Singapura juga-lah, saya mendapatkan gelar magister saya. Cukup untuk membawa saya kembali ke Bandung untuk mengajar di FTIS UNPAR. Januari 2012, adalah awal mula masa berkarya saya di FTIS UNPAR sebagai dosen.

Tidak banyak yang berubah secara fisik dari FTIS UNPAR, selain lapangan parkir gedung 9 yang kini sudah berganti menjadi gedung 10. Perubahan yang paling menarik justru adalah fakta bahwa mantan dosen-dosen saya, sekarang menjadi kolega dan mentor saya.
Di samping itu, aktivitas sehari-hari mahasiswa pun berubah. Di masa saya, kehidupan mahasiswa banyak dihabiskan di kampus entah untuk mengerjakan tugas, bersosialisasi dengan teman-teman mahasiswa, ataupun sekedar melihat pengumuman di papan. Di masa kini, mengerjakan tugas bisa dilakukan di rumah, kos, atau kafe asalkan ada laptop dan internet. Bersosialisasi lebih mudah dan menyenangkan melalui aplikasi Line, dan seluruh pengumuman dapat langsung dilihat di e-mail masing-masing.

Walaupun tidak mengalami sendiri kehidupan menjadi dosen 10 tahun lalu, tetapi saya dapat merasakan tantangan menjadi dosen saat ini dibandingkan sebelumnya. Keterbukaan informasi yang begitu besar membuat mahasiswa masa kini di satu sisi semakin kritis, tetapi di sisi lain mengalami kesulitan dalam menghargai proses untuk mencapai sesuatu (“Jika semua pertanyaan bisa dijawab Google, lalu untuk apa saya belajar?”).

Terlepas dari seluruh perubahan dan tantangan-tantangan baru, saya senang bahwa FTIS terus berusaha beradaptasi dengan perkembangan zaman. Inilah yang memberi semangat kepada saya untuk turut serta dalam perubahan-perubahan positif yang terjadi di FTIS. Semoga fakultas ini tetap bergerak maju dan terus berubah menghadapi tantangan-tantangan yang muncul berikutnya.